Bahasa Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

Bahasa Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

Kata Baku dan Tidak Baku


Kata Baku Kata Tidak Baku antre antri atlet atlit azimat ajimat faksimile faksimil februari pebruari film filem frekuensi frekwensi izin ijin juang joang jumat jum'at kabar khabar kanker kangker konkret kongkrit kualitas kwalitas kuantitas kwantitas november nopember lembap lembab paruh paro tenteram tentram zaman jaman ziarah jiarah
==Makna Imbuhan peng-...-an dan –an== Ada pemakaian pasangan kata berimbuhan peng-...-an dan –an yang tidak mencerminkan perbedaan. Imbuhan peng- dapat juga berwujud pem-, pen-, peny- dan pe-, misalnya, kata pemberian yang sering dipakai seperti dalam kalimat berikut.
  1. Rumah ini pemberian orang tua saya.
Jika kita mengenal kata pengiriman dengan arti 'hal atau tindakan mengirim atau mengirimkan' dan penulisan bermakna 'hal atau tindakan menulis atau menuliskan', kata pemberian dalam kalimat di atas akan diartikan 'hal atau tindakan memberi atau memberikan'.
Arti itu tentu tidak sesuai sebab gagasan dalam kalimat di atas ialah bahwa rumah itu merupakan barang yang diberikan oleh orang tua saya. Pengertian seperti itu dapat dinyatakan dengan kata berian. Bandingkan juga dengan kata kiriman yang berarti 'hasil tindakan mengirim' atau hal atau barang yang dikirimkan dan kata tulisan 'hasil tidakan menulis atau ditulis' Sejalan dengan itu kalimat (1) di atas lebih tepat diubah menjadi seperti berikut. (1a) Rumah ini berian orang tua saya. (1b) Pemberian hadiah itu berlangsung semalam. Perhatikan pula beberapa contoh lain berikut ini. (2a) Kita harus merawat warisan nenek moyang kita. (2b) Pewarisan harta benda itu terjadi secara turun-temurun. (3a) Petinju itu merasa siap bertanding sesudah mendapat latihan secukup-nya.
(3b) Kegiatan pelatihan dipusatkan di Jakarta. (4a) Apakah engkau sudah mengambil bagianmu? (4b) Pembagian beras bulan ini tepat pada waktunya. (5a) Kita akan memperoleh arahan lebih lanjut dari atasan kita. (5b) Pengarahan harus dilakukan sebelum mereka melaksanakan tugas. (6a) Para petugas menjaga temuan itu secara seksama. (6b) Penemuan bangunan kuno itu tidak terlepas dari usaha keras para arkeolog.

Beberapa Ciri Bahasa Indonesia Baku

Karena wilayah pemakaiannya yang amat luas dan penuturnya yang beragam, bahasa Indonesia pun mempunyai banyak ragam. Berbagai ragam bahasa itu tetap disebut sebagai bahasa Indonesia karena semua ragam tersebut memiliki beberapa kesamaan ciri. Ciri dan kaidah tata bunyi, pembentukan kata, dan tata makna pada umumnya sama. Itulah sebabnya kita dapat saling memahami orang lain yang berbahasa Indonesia dengan ragam berbeda walaupun kita melihat ada perbedaan perwujudan bahasa Indonesianya.
Di samping ragam yang berdasar wilayah penuturnya, ada beberapa ragam lain dengan dasar yang berbeda, dengan demikian kita mengenal bermacam ragam bahasa Indonesia (ragam formal, tulis, lisan, bidang, dan sebagainya); selain itu ada pula ragam bidang yang lazim disebut sebagai laras bahasa. Yang menjadi pusat perhatian kita dalam menulis di media masa adalah “bahasa Indonesia ragam baku”, atau disingkat “bahasa Indonesia baku”. Namun demikian, tidaklah sederhana memerikan apa yang disebut “ragam baku”
Bahasa Indonesia ragam baku dapat dikenali dari beberapa sifatnya. Seperti halnya dengan bahasa-bahasa lain di dunia, bahasa Indonesia menggunakan bahasa orang yang berpendidikan sebagai tolok ukurnya. Ragam ini digunakan sebagai tolok ukur karena kaidah-kaidahnya paling lengkap diperikan.  Pengembangan ragam bahasa baku memiliki tiga ciri atau arah, yaitu:
1.    Memiliki kemantapan dinamis yang berupa kaidah dan aturan yang tetap. Di sini, baku atau standar berarti tidak dapat berubah setiap saat.
2.    Bersifat kecendikiaan. Sifat ini diwujudkan dalam paragraf, kalimat, dan satuan-satuan bahasa lain yang mengungkapkan penalaran dan pemikiran yang teratur, logis dan masuk akal
3.    Keseragaman. Di sini istilah “baku” dimaknai sebagai memiliki kaidah yang seragam. Proses penyeragam bertujuan menyeragamkan kaidah, bukan menyeragamkan ragam bahasa, laras bahasa, atau variasi bahasa.
Pemerintah, melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Depdiknas) menghimpun ciri-ciri kaidah bahasa Indonesia baku dalam buku  berjudul Tata Bahasa Baku bahasa Indonesia, di samping Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Dalam kedua naskah tersebut terdapat banyak kaidah yang merupakan pewujudan ciri bahasa Indonesia baku.

Mengapa Harus Baku?

Banyak orang kurang menyetujui pemakaian bahasa “baku” karena mereka kurang  memahami makna istilah itu. Mereka mengira bahasa yang baku selalu bersifat kaku, tidak lazim digunakan sehari-hari, atau bahasa yang hanya terdapat di buku. Mereka berpendirian bahwa kita cukup menggunakan bahasa yang komunikatif, maksudnya mudah dipahami. Mereka beranggapan bahwa penggunaan ragam baku mengakibatkan bahasa yang kurang komunikatif dan sulit dipahami.  Pemahaman semacam ini harus diluruskan. Keterpautan bahasa baku dengan materi di media massa ialah bahwa ragam ini yang paling tepat digunakan supaya bahasa Indonesia berkembang dan dapat menjadi bahasa iptek, bahasa sosial, atau pun bahasa pergaulan yang moderen. Bahasa yang baku tidak akan menimbulkan ketaksaan pada pemahaman pembacanya. Ragam bahasa baku akan menuntun pembacanya ke arah cara berpikir yang bernalar, jernih, dan masuk akal. Bahasa Inggris, dan bahasa-bahasa lain di Eropa, bisa menjadi bahasa dunia dan bahasa komunikasi dalam ilmu pengetahuan karena tingginya sifat kebakuan bahasa-bahasa tersebut.
Di samping itu, bahasa baku dapat menuntun baik pembaca maupun penulisnya ke arah penggunaan bahasa yang efisien dan efektif. Bahasa yang efisien ialah bahasa yg mengikuti kaidah yang dibakukan atau yang dianggap baku dengan mempertimbangkan  kehematan kata dan ungkapan.  Bahasa yang efektif ialah bahasa yang mencapai sasaran yang dimaksudkan  (Moeliono, 2002).
Ada beberapa ciri yang dapat digunakan untuk mempertimbangkan kebakuan kalimat, antara lain:
1.    Pelesapan imbuhan, misalnya “Kita harus hati-hati dalam menentukan sample penelitian ini” (seharusnya “berhati-hati”).
2.    Pemborosan kata yang menyebabkan kerancuan atau bahkan kesalahan struktur kalimat, misalnya “Dalam rapat pimpinan kemarin memutuskan susunan pengurus baru” (kata dalam dapat dibuang).
3.    Penggunaan kata yang tidak baku, termasuk penggunaan kosakata bahasa daerah yang belum dibakukan. Contoh, “Percobaan yang dilakukan cuma menemukan sedikit temuan” (Cuma diganti hanya).
4.    Penggunaan kata hubung yang tidak tepat, termasuk konjungsi ganda, misalnya ”Meskipun beberapa ruang sedang diperbaiki, tetapi kegiatan sekolah berjalan terus.” (konjungsi tetapi sebaiknya dihilangkan karena sudah ada konjungsi  meskipun).
5.    Kesalahan ejaan, termasuk penggunaan tanda baca.
6.    Pelesapan salah satu unsur kalimat, misalnya ”Setelah dibahas secara mendalam, peserta rapat menerima usul tersebut” (subjek anak kalimat ‘usul tersebut’ tidak boleh dilesapkan).

2 comments

Salam kenal sob, makasih infonya. Sangat bermanfaat.

Terima kasih kembali. Maaf lama baru balas.


EmoticonEmoticon